PROGRAM
BIMBINGAN DI SEKOLAH DAN PERANAN GURU DALAM PELAKSANAANNYA
A. Program
Bimbingan di Sekolah
Kegiatan bimbingan dan konseling dapat mencapai
hasil yang efektif bilamanana di mulai dari adanya program yang disusun dengan
baik. Program bimbingan berisi rencana kegiatan yang akan di lakukan dalam
rangka pemberian layanan bimbigan dan konseling. Winkel (1991) menjelaskan
bahwa program bimbingan merupakan suatu rangkaian kegiatan terencana,
terorganisasi dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu.
1. Pengertian
Program Bimbingan
Menurut pendapat Hotch dan Costor yang dikutip oleh
Gipson dan Mitchell (1981) program bimbingn dan konseling adalah suatu program
yang memberikan layanan khusus yang dimaksudkan untuk membantu individu dalam
mengadakan penyesuaian diri. Program bimbingan ini menyangkut dua factor yaitu
(1) Factor pelaksana atau orang yang akan memberikan bimbingan dan (2)
factor-faktor yang berkaitan dengan perlengkapan, metode, bentuk layanan
siswa-siswa dan sebagainya yang mempunyai kaitan dengan kegiatan bimbingan (Abu
Ahmadi, 1977).
Program
bimbingan memberikan arah yang jelas dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dengan efisien dan efektif.
Rochman
Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) menyatakan bahwa program bimbingan yang
disusun dengan baik dan rinci akan memberikan banyak keuntungan, seperti:
a) Memungkinkan
para petugas menghemat waktu, usaha, biaya dengan menghindari
kesalahan-kesalahan dan usaha coba-coba yang tidak menguntungkan;
b) Memungkinkan
siswa untuk mendapat layanan bimbingan secara seimbang dan menyeluruh, baik
dalam hal kesepakatan, ataupun dalam jenis layanan bimbingan yang diperlukan;
c) Memungkinkan
setiap petugas mengetahui dan memahami peranannya masing-masing dan mengetahui
bagaimana dan dimana mereka harus melakukan upaya secara tepat;
d) Memungkinkan
para petugas untuk menghayati pengalaman yang sangat berguna untuk kemajuannya
sendiri dan untuk kepentingan para siswa yang dibimbingnya.
Pendapat di atas, menekankan perlunya rumusan
program bimbingan yang jelas dan sistematik. Keberhasilan dalam merumuskan
program yang demikian, merupakan titik awal keberhasilan pelaksanaan kegiatan
bimbingan dan konseling di sekolah.
2. Langkah-langkah
Penyusunan Program Bimbingan
Dalam penyusunan program bimbingan perlu ditempuh
langkah-langkah seperti dikemukakan oleh Miller yang dikutip oleh Rochman
Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) seperti berikut:
a) Tahap
persiapan. Langkah ini dilakukan melalui survai untuk menginventarisasi tujuan,
kebutuhan dan kemampuan sekolah, serta kesiapan sekolah yang bersangkutan untuk
melaksanakan program bimbingan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menentukan
langkah awal pelaksanaan program.
b) Pertemuan-pertemuan
permulaan dengan para konselor yang telah ditunjuk oleh pimpinan sekolah.
Tujuan pertemuan ini untuk menyamakan pemikiran tentang perlunya program
bimbingan, serta merumuskan arah program yang di susun.
c) Pembentukan
panitia sementara untuk merumuskan program bimbingan yang akan di susun,
mempersiapkan bagan organisasi dari program tersebut dan membuat kerangka dasar
dari program bimbingan yang akan disusun.
d) Pembentukan
panitia penyelenggara program. Panitia ini bertugas mempersiapkan program tes,
mempersiapkan dan melaksanakan system pencatatan dan melatih para pelaksana
program bimbingan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Di
samping rumusan tentang langkah-langkah penyusunan program bimbingan
sebagaimana di kemukakan itu, berikut ini dapat pula di sajikan langkah-langkah
penyusunan program bimbingan yang urutannya cukup sederhana, yaitu:
a) Mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan sekolah terutama yang ada kaitannya dengan kegiatan
bimbingan. Pada kegiatan ini dapat dilakukan pertemuan-pertemuan dengan
personel sekolah lainnya guna mendapatkan masukan (input) mengenai berbagai hal
yang perlu ditangani leh konselor.
b) Setelah
data terkumpul perlu dilakukan penentuan urutan prioritas egiatan yang akan
dilakukan, dan sekaligus menyusun konsep program bimbingan yang akan dilakukan
dalam kurun waktu tertentu. Dalam kegiatan ini juga ditentukan personalia yang
akan melaksanankan program kegiatan itu serta sasaran dari program tersebut.
c) Konsep
program bimbingan dibahas bersama kepala sekolah bila perlu dengan mengundang
personel sekolah untuk memperoleh balikan guna penyempurnaan program tersebut.
d) Penyempurnaan
konsep program yang telah dibahas bersama kepala sekolah.
e) Pelaksanaan
program yang telah di rencanakan.
f) Setelah
program dilaksanankan, perlu di adakan evaluasi. Hal ini di maksudkan untuk
mengetahui bilamana ada bagian-bagian yang tidak terlaksna dan seterusnya
dicari factor penyebabnya.
g) Dari
hasil evaluasi program tersebut kemudian dilakukan penyempurnaan (revisi) untuk
program berikutnya.
Demikianlah
seterusnya sehingga terwujudlah program bimbingan yang lebih sempurna.
Terciptanya program bimbingan yang baik telah merupakan sebagian dari
keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling itu sendiri.
3. Variasi
Program Bimbingan menurut Jenjang Pendidikan
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah seharusnya
dilaksanakan secara terus-menerus, mulai dari jenjang pendidikan terendah
(Taman Kanak-kanak) sampai jenjang pendidikan tertinggi (Perguruan Tinggi).
Secara ideal kegiatan tersebut seharusnya berkesinambungan. Meskipun demikian
layanan bimbingan tersebut mempunyai
penekanan-penekanan yang berbeda-beda untuk setiap jenjang pendidikan.
Hal ini mengingat kebutuhan dan perkembangan anak untuk setiap jenjang
pendidikan juga berbeda. Winkel (1991) memberikan rambu-rambu yang perlu
diperhatikan dalam menyusun program bimbingan di tingkat pendidikan tertentu,
yaitu:
a) Menyusun
tujuan jenjang pendidikan tertentu, seperti
yang telah dirumuskan. Tujuan pendidikan di Sekolah Dasar, jelas berbeda
dengan tujuan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama dan seterusnya.
b) Menyusun
tugas-tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik pada tahap
perkembangan tertentu.
c) Menyusun
pola dasar yang dipedomani dalam memberikan layanan.
d) Menentukan
komponen-komponen bimbingan yang diprioritaskan.
e) Menentukan
bentuk bimbingan yang sebaiknya diutamakan, seperti bimbingan kelompok atau
bimbingan individual, bimbingan pribadi, bimbingan akademik atau bimbingan
karir, dan sebagainya.
f) Menentukan
tenaga-tenaga bimbingan yang dapat dimanfaatkan, misalnya konselor, guru atau
tenaga ahli lainnya.
Berdasarkan
rambu-rambu tersebut, program bimbingan untuk masing-masing jenjang pendidikan
dapat dirumuskan dengan tepat sesuai dengan karakteristiknya. Selain itu,
program bimbingan hendaknya disesuaikan dengan keadaan individu yang akan
dilayani.
a. Pendidikan
Taman Kanak-kanak
Menurut
Winkel (1991) tenaga –tenaga pendidik di Taman Kanak-kanak juga dituntut untuk
memberikan layanan bimbingan. Hal ini dikuatkan dalam Pedoman Bimbingan dan
Penyuluhan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1880 Buku III C,
dalam rangka pelaksanaan kurikulum Taman Kanak-kanak 1976.
Layanan
Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak, hendaknya ditekankan pada:
a) Bimbingan
yang berkaitan dengan kemandirian dan keharmonisan dalam menjalin hubungan
sosial dengan teman-teman sebayanya.
b) Bimbingan
pribadi, seperti pemupukan disiplin diri dan memahami perintah.
b. Program
Bimbingan di Sekolah Dasar
Program
kegiatan bimbingan dan konseling untuk siswa-siswa Sekolah Dasar lebih
menekankan pada usaha pencapaian tugas-tugas perkembangan mereka antara lain
mengatur kegiatan-kegiatan bellajarnya dengan bertanggungjawab; dapat berbuat
dengan cara-cara yang dapat diterima oleh orang dewasa serta teman-teman
sebayanya, mengembangkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung;
mengembangkan kesadaran moral berdasarkan nilai-nilai kehidupan dengan
membentuk kata hati (Winkel, 1991).
Berkenaan
dengan penyusunan program bimbingan di sekolah dasar, Gibson dan Mitchell
(1981) mengemukakan beberapa factor yang harus dipertimbangkan, seperti:
a) Kegiatan
bimbingan di SD hendaknya lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas belajar.
b) Di
SD masih menggunakan system guru sehingga seandainya ada anak yang tidak
disenangi oleh guru, maka akan lebih fatal akibatnya.
c) Adanya
kecenderungan seorang anak bergantung kepada teman sebayanya.
d) Minat
orang tua dominan mempengaruhi nilai kehidupan anak.
e) Masalah-masalah
yang timbul di tingkat SD, tidak terlalu kompleks.
c. Program
Bimbingan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Dalam
hal ini Winkel (1991) mengemukakan
mengemukakan tugas-tugas perkembangan untuk siswa/anak pada tingkat SLTP antara lain: menerima
peranannya sebagai pria atau wanita, memperjuangkan taraf kebebasan yang wajar
dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, menambah bekal pengetahuan dan
pemahaman untuk pendidikan lanjutan serta mengembangkan kata hati sesuai dengan
nilai-nilai kehidupan.
Hambatan
dari pencapaian tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain: kurang
kepercayaan diri, kurangnya kepekaan perasaan, sering timbulnya kegelisahan,
dan kurangnya semangat kerja keras. Dengan adanya kenyataan yang dialami oleh
anak-anak tersebut, program bimbingan hendaknya di arahkan atau ditekankan pada
penanggulangan masalah itu sehingga mereka dapat mencapai tugas-tugas
perkembangannya dengan baik.
Secara
garis besarnya program bimbingan dan konseling di SLTP hendaknya berorientasi
kepada:
a) Bimbingan
belajar, karena cara belajar di SLTP berbeda dengan di SD.
b) Bimbingan
tentang huungan muda-mudi, karena pada usia ini mereka mulai mengenal hubungan
cinta kasih (Gibson dan Mitchell, 1981).
c) Pada
usia ini mereka mulai membentuk kelompok sebaya (peer group), maka program
bimbingan hendaknya juga menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan
hubungan sosial.
d) Bimbingan
yang berorientasi pada tugas-tugas perkembangan anak usia 12-15 tahun.
e) Bimbingan
karir baik yang menyangkut pemahaman tentang dunia pendidikan ataupun
pekerjaan.
d. Program
Bimbingan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
Cole
(1959) mengemukakan beberapa tugas-tugas pada usia remaja (siswa SLTA) yaitu
bertujuan untuk mencapai: (1) kematangan emosional, (2) kemantapan minat
terhadap lawan jenis, (3) kematangan sosial, (4) kebebasan diri dari control
orang tua, (5) kematangan intelektual, (6) kematangan dalam pemilihan
pekerjaan, (7) efisiensi penggunaan waktu luang, (8) kematangan dalam memahami
filsafah hidup, dan (9) kematangan dalam kemampuan mengidentifikasi diri.
Dengan
demikian program bimbingan dan konseling di SMTA hendaknya dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi siswa, sehingga mereka dapat mencapai
tugas-tugas perkembangan tersebut. Oleh sebab itu, program bimbingan di SLTA
hendaknya berorientasi kepada :
a) Hubungan
muda-mudi/hubungan sosial.
b) Pemberian
informasi pendidikan dan jabatan.
c) Bimbingan
cara belajar.
e. Program
Bimbingan di Perguruan Tinggi
Tugas-tugas
perkembangan pada usia dewasa menntut seseorang untuk lebih mandiri, dan
berdisipin diri (self dcipline). Mereka dituntut untuk mampu mengembangkan
sikap membina ilmu demi kemajuan bangsanya (Winkel, 1991).
Di
samping itu mahasiswa juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan pola
kehidupan kampus dan di luar kampus. Pola kehidupan kampus lebih menekankan
kepada aspek akademik, seperti cara belajar mandiri, cara mengatur waktu,
menimbulkan motivasi belajar, memilih program studi dan menjalin hubungan
sosial. Masalah-masalah di luar kampus yang mungkin timbul adalah masalah biaya
pendidikan, fasilitas belajar, tempat tinggal, makanan yang bergizi, dan
sebagainya (Winkel, 1991).
Efektivitas
dan efisiensi program bimbingan dapat terwujud bila di arahkan kepada
masalah-masalah sebagaimana di gambarkan di atas. Oleh sebab itu, program
bimbingan di Perguruan Tinggi hendaknya berorientasi kepada :
1) Bimbingan
belajar di perguruan tinggi atau bimbingan yang bersifat akademik.
2) Hubungan
sosial dan hubungan muda-mudi.
4. Tenaga
Bimbingan di Sekolah Beserta Fungsi dan Perananya
Layanan
bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dari keseluruhan proses
pendidian sekolah. Oleh karena itu pelaksanaan bimbingan dan konseling di
sekolah menjadi tanggung jawab bersama antara personel sekolah, yaitu : Kepala
Sekolah, guru-guru, wali kelas dan petugas lainnya (Rochman Natawidjaja dan Moh
Surya, 1985). Pekerjaan konselor merupakan salah satu dari pekerjaan
professional di sekolah (Gibson and Mitchell, 1981).
Koestoer,
P. (1982) mengemukakan sejumlah personalia/konselor di sekolah terdiri dari:
a) Konselor
sekolah
b) Guru
konselor/guru pembimbing
c) Tenaga
khusus/psikolog sekolah, pekerja sosial sekolah, dokter, dan juru rawat.
Dalam
kurikulum SMA 1975 Buku III C tentang Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan
dikemukakan bahwa konselor di sekolah terdiri dari (a) Kepala Sekolah, (b)
Penyuluh Pendidikan (konselor sekolah), (c) Guru penyuluh atau wali kelas, (d)
Guru, dan (e) Petugas Administrasi. Dalam kurukulum tersebut dijelaskan rincian
tugas masing-masing personel sebagai berikut:
a. Kepala
Sekolah
Dalam
pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, Kepala Sekolah
mempunyai tugas sebagai berikut:
1) Membuat
rencana/program sekolah secara menyeluruh.
2) Mendelegasikan
tanggung jawab tertentu dalam pelaksanan bimbingan dan penyuluhan.
3) Mengawasi
pelaksanaan program.
4) Melengkapi
dan menyediakan kebutuhan dan fasilitas bimbingan dan penyuluhan.
5) Mempertanggungjawabkan
program tersebut baik ke dalam (sekolah) maupun ke luar (masyarakat).
6) Mengadakan
hubungan dengan lembaga-lembaga di luar sekolah dalam rangka kerjasama
melaksanakan bimbingan.
7) Mengkoordinasikan
kegiatan bimbingan dengan kegiatan-kegiatan lainnya.
b. Penyuluh
Pendidikan (Konselor Sekolah)
Dalam
pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah konselor sekolah sangat
berperan. Adapun peranan dan tugas konselor sekolah dalam kegiatan bimbingan
dan konseling adalah :
1) Menyusun
program bimbingan dan konseling bersama Kepala Sekolah.
2) Memberikan
garis-garis kebijaksanaan umum mengenai kegiatan bimbingan dan konseling.
3) Bertanggung
jawab terhadap jalannya program.
4) Mengkoordinasikan
program kegiatan pelaksanaan program sehari-hari.
5) Memberikan
laporan kegiatan kepada Kepala Sekolah.
6) Membantu
siswa untuk memahami dan mengadakan penyesuaian pada diri sendiri, lingkungan
sekolah dan lingkungan sosial yang makin lama makin berkembang.
7) Menerima
dan mengklasifikasikan informasi pendidikan dan informasi lainnya yang
diperoleh dan menyimpannya sehingga menjadi catatan kumulatif siswa.
8) Menganalisis
dan menafsirkan data siswa untuk menetapkan suatu rencana tindakan positif
terhadap siswa.
9) Menyelenggarakan
pertemuan staf.
10) Melaksanakan
bimbingan kelompok dan konseling individual.
11) Memberikan
informasi pendidikan dan jabatan kepada siswa-siswa dan menafsirkannya untuk
keperluan pendidikan dan jabatan.
12) Mengadakan
konsultasi dengan instansi-instansi yang berhubungan dengan program bimbingan
dan konseling dan memimpin usaha survai dalam masyarakat sekitar sekolah untuk
mengetahui lapangan-lapangan kerja yang terbuka.
13) Bersama
guru membantu siswa memilih pengalaman atau kegiatan-kegiatanko-kurikuler yang
sesuai dengan minat, sifat, bakat dan kebutuhannya.
14) Membantu
guru menyusun pengalaman belajar dan membuat penyesuaian metode mengajar yang sesuai
dengan dan dapat memenuhi sifat masalah masing-masing siswa.
15) Mengadakan
penelaahan lanjutan terhadap siswa-siswa tamatan sekolahnya dan terhadap siswa
putus sekolah serta melakukan usaha penilaian lain yang berhubungan dengan
program bimbingan secara tetap.
16) Mengadakan
konsultasi dengan orang tua siswa dan mengadakan kunjungan rumah (home visit).
17) Menyelenggarakan
pembicaraan kasus (case conference).
18) Mengadakan
wawancara program latihan bagi para petugas bimbingan.
19) Menyelenggarakan
program latihan bagi para petugas bimbingan.
20) Melakukan
alihtangan (referal) masalah siswa kepada lembaga atau alih llain yang lebih
berwenang.
c. Guru
Penyuluh/Wali Kelas
Wali
kelas merupakan personel sekolah yang ditugasi untuk menangani masalah-masalah
yang dialami oleh siswa yang menjadi binaanya. Berkenaan dengan kegiatan
bimbingan dan konseling di sekolah peran dan tanggung jawab wali kelas adalah :
1) Mengumpul
data tentang siswa.
2) Menyelenggarakan
bimbingan kelompok.
3) Meneliti
kemajuan dan perkembangan siswa (akademik, sosial, fisik, pribadi)
4) Mengawasi
kegiatan siswa sehari-hari.
5) Mengobservasi
kegiatan siswa di rumah.
6) Mengadakan
kegiatan orientasi.
7) Memberikan
penerangan.
8) Mengatur
dan menempatkan siswa.
9) Memantau
hubungan sosial siswa dengan individu lainnya dari berbagai segi, seperti
frekuensi pergaulan, intensitas pergaulan dan popularitas pergaulannya.
10) Bekerjasama
dengan konselor dalam membuat sosiometri dan sosiogram.
11) Bekerjasama
dengan konselor dalam mengadakan pemeriksaan kesehatan psikologis oleh tim
ahli.
12) Mengidentifikasikan
siswa yang memerlukan bantuan.
13) Ikut
serta atau menyelenggarakan sendiri pertemuan kasus (case conference).
d. Guru/Pengajar
Adapun
tugas dan tanggung jawab guru dalam kegiatan ini adalah:
1) Turut
serta aktif dalam membantu melaksanakan kegiatan program bimbingan dan
konseling.
2) Memberikan
informasi tentang siswa kepada staf Bimbingan dan Konseling.
3) Memberikan
layanan instruksional (pengajaran).
4) Berpartisipasi
dalam pertemuan kasus.
5) Memberikan
informasi kepada siswa.
6) Meneliti
kesulitan dan kemajuan siswa.
7) Menilai
hasil kemajuan belajar siswa.
8) Mengadakan
hubungan dengan orang tua siswa.
9) Bekerjasama
dengan konselor dalam pengumpulan data siswa dalam usaha mengidentifikasikan
masalah yang dihadapi siswa.
10) Membantu
memecahkan masalah siswa.
11) Mengirimkan
(referral) masalah siswa yang tidak dapat diselesaikannya kepada konselor.
12) Mengidentifikasikan,
menyalurkan dan membina bakat.
e. Petugas
Administrasi
Mengenai
tugas dan tanggung jawab petugas administrasi dalam kegiatan bimbingan dan
konseling adalah:
1) Mengisi
kartu pribadi siswa.
2) Menyimpan
catatan-catatan (record) dan data lainnya.
3) Menyelesaikan
laporan dan pengumpulan data tentang siswa.
4) Mengirim
dan menerima surat panggilan dan surat pemberitahuan.
5) Menyiapkan
alat-alat atau formulir-formulir pengumpulan data siswa, seperti angket,
observasi wawancara, riwayat hidup, sosiometri dan sosiogram, kunjungan rumah,
panggilan orang tua, pemeriksaan dan pemeriksaan psikologis,
5. Struktur
Organisasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Pelaksanaan
kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan tanggungjawab Kepala
Sekolah. Program bimbingan di sekolah merupakan bagian yang terintergasi dengan
seluruh kegiatan pendidikan. Dalam kurikulum SMA tahun 1975 buku III C
dinyatakan bahwa Kepala Sekolah berperan
langsung sebagai coordinator bimbingan dan berwenang untuk menentukan garis
kebijaksanaan bimbgan, sedangkan konselor merupakan pembantu Kepala Sekolah
yang bertanggung jawab kepada Kepala Sekolah.
6. Mekanisme
Implementasi Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Untuk
melaksanakan program bimbingan dan konseling di sekolah, konselor beserta
personel lainnya perlu memperhatikan komponen kegiatan sebagai berikut:
a. Komponen
Pemrosesan Data
Kegiatan
layanan bimbingan dan konseling meliputi beberapa aspek, yaitu: (1) pengumpulan
data, (2) pengklasifikasian, (3) pendokumentasian, (4) penyimpanan, (5)
penyediaan data yang diperlukan, dan (6) penafsiran. Data yang perludiproses
adalah data tentang keadaan siswa di sekolah yang meliputi: (a) kemampuan
skolastik (bakat khusus, hasil blajar, kepribadian, intelegensi, riwayat
pendidikan); (b) cita-cita; (c) hubungan sosial; (d) minat terhadap mata
pelajaran; (e) kebiasaan belajar; (f) kesehatan fisik; (g) pekerjaan orang tua;
dan (h) keadaan keluarga.
b. Komponen
Kegiatan Pemberian Informasi
Komponen
ini terdiri dari: (1) pemberian orientasi kehidupan sekolah kepada siswa baru;
(2) pemberian informasi tentang program studi kepada siswa yang dipandang
memerlukannya; (3) pemberian informasi jabatan kepada siswa yang diperkirakan
tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan (4) pemberian
informasi pendidikan lanjutan.
c. Komponen
Kegiatan Konseling
Konseling
dilakukan terhadap siswa yang mengalami masalah yang sifatnya lebih pribadi.
Jika ada masalah yang tidak dapat diatasi oleh petugas yang bersangkutan, perlu
dialihtangankan kepada pihak lain yang lebih ahli.
d. Komponen
Pelaksana
Pelaksana
jenis kegiatan tersebut adalah konselor sekolah, konselor bersama guru bidang
studi dan juga kepala sekolah sesuai dengan fungsi dan peranannya
masing-masing.
e. Komponen
Metode/Alat
Alat
yang dipakai untuk melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan itu dapat
berupa: tes psikologis; tes hasil belajar; dokumen; angket; kartu pribadi;
brosur/poster; konseling dan sebagainya. Ini sesuai dengan jenis data atau
kegiatan yang akan di kumpulkan/dilakukan.
f. Komponen
Waktu Kegiatan
Jadwal
kegiatan layanan dapat dilakukan pada awal tahun ajaran, secara periodic,
bilamana perlu (incidental), akhir masa sekolah, awal semester atau waktu lain
tergantung dari jenis/macam kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan tujuan
yang diharapkan.
g. Komponen
Sumber Data
Data
yang diperlukan dapat diperoleh dari siswa yang bersangkutan; guru; orang tua;
teman-teman siswa; masyakat ataupun instnsi. Hal ini tergantung atas jenis data
yang diperlukan.
Semua
kegiatan ini dikoordinasi oleh konselor dan dipertanggungjawabkan kepada Kepala
Sekolah.
B. Peranan
Guru dalam Pelaksanaan Bimbingan di Sekolah
Peranan
guru dalam pelaksanaan bimbingan di skolah dapat dibedakan menjadi dua:
1. Tugas
Guru dalam Layanan Bimbingan di Kelas
Rochman
Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) menyatakan bahwa fungsi bimbingan dalam
proses belajar-mengajar itu merupakan salah satu kompetensi guru yang terpadu
dalam keseluruhan pribadinya.
Perilaku
guru dapat mempengaruhi keberhasilan belajar, misalnya guru yang bersifat
otoriter akan menimbulkan suasana tegang, hubungan guru siswa menjadi kaku, keterbukaan
siswa untuk mengemukakan kesulitan-kesulitan sehubungan dengan pelajaran itu
menjadi terbatas, dan sebagainya. Oleh karena itu guru harus dapat menerapkan
fungsi bimbingan dalam kegiatan belajar-mengajar. Sehubungan dengan itu Rochman
Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) mengemukakan beberapa hal yang harus
diperhatikan guru dalam proses belajar-mengajar sesuai dengan fungsinya sebagai
guru dan pembimbing, yaitu:
a) Perlakuan
terhadap siswa didasarkan atas keyakinan bahwa sebagai individu, siswa memiliki
potensi untuk berkembang dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk
mandiri.
b) Sikap
yang positif dan wajar terhadap siswa.
c) Perlakuan
terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, menyenangkan.
d) Pemahaman
siswa secara empatik.
e) Penghargaan
terhadap martabat siswa sebagai individu
f) Penampilan
diri secara asli (genuine) tidak berpura-pura, di depan siswa.
g) Kekonkretan
dalam menyatakan diri.
h) Penerimaan
siswa secara apa adanya.
i)
Perlakuan terhadap
siswa secara permissive.
j)
Kepekaan terhadap
perasaan yang dinyatakan oleh siswa dan membantu siswa untuk menyadari perasaannya
itu.
k) Kesadaran
bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap bahan
pengajaran saja, melainkan menyangkut pengembangan siswa menjadi individu yang
lebih dewasa.
Abu
Ahmadi ( 1977) mengemukakan peran guru sebagai pembimbing dalam melaksanakan
proses belajar-mengajar, sebagai berikut:
a) Menyediakan
kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap
siswa merasa aman, dan berkeyakinan bahwa kecakapan dan prestasi yang
dicapainya mendapat penghargaan dan perhatian. Suasana demikian dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa, dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri
siswa.
b) Mengusahakan
agar siswa-siswa dapat memahami dirinya, kecakapan-kecakapan, sikap, minat
dan pembawaannya.
c) Mengembangkan
sikap-sikap dasar bagi tingkah laku sosial yang baik. Tingkah laku siswa yang
tidak matang dalam perkembangan sosialnya ini dapat merugikan dirinya sendiri
maupun teman-temannya.
d) Menyediakan
kondisi dan kesempatan bagi setiap siswa untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Guru dapat memberkan fasilitas waktu, alat atau tempat bagi para siswa
untuk mengembangkan kemampuannya.
e) Membantu
memilih jabatan yang cocok, sesuai dengan bakat, kemampuan dan minatnya.
Berhubung guru relative lama bergaul dengan para siswa, maka kesempatan
tersebut dapat dimanfaatkannya untuk memahami potensi siswa. Guru dapat
menunjukkan arah minat yang cocok dengan bakat dan kemampuannya. Melalui
penyajian materi pelajaran usaha bimbingan tersebut dapat dilaksanakan.
Di
samping tugas-tugas tersebut di atas, guru juga dapat melakukan tugas-tugas
bimbingan dalam proses pembelajaran seperti berikut:
a) Melaksanakan
kegiatan diagnostic kesulitan belajar.dalam hal ini guru mencari atau
mengidentifikasi sumber-sumber kesulitan belajar yang dialami oleh siswa,
dengan cara:
1) Menandai
siswa yang diperkirakan mengalami masalah, dengan jalan melihat prestasi
belajarnya yang paling rendah atau berada di bawah nilai rata-rata kelasnya.
2) Mengidentifikasikan
mata pelajaran di mana siswa mendapat nilai rendah (di bawah rata-rata kelas).
3) Menelusuri
bidang/bagian di mana siswa mengalami kesulitan yang menyebabkan nilainya
rendah. Dengan demikian dapat ditemukan salah satu sumber penyebab timbulnya
kesulitan belajar.
4) Melaksanakan
tindak lanjut, apakah perlu pelajaran tambahan, dengan bimbingan dari guru
secara khusus, atau tindakan-tindakan lainnya.
b) Guru
dapat memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya kepada murid
dalam memecahkan masalah pribadi. Masala-masalah yang belum terpecahkan dan
berada di luar batas kewenangan guru dapat dialihtangankan (referal) kepada
konselor yang ada di sekolah itu atau kepada ahli lain yang dipandangnya tepat
untuk menangani masalah tersebut.
2. Tugas
Guru dalam Operasional Bimbingan di Luar Kelas
Tugas
guru dalam layanan bimbingan tidak terbatas dala kegiatan proses
belajar-mengajar atau dalam kelas saja, tetapi juga kegiatan-kegiatan bimbingan
di luar lelas. Tugas-tugas bimbingan itu antara lain:
a) Memberikan
pengajaran perbaikan (remedial teaching)
b) Memberikan
pengayaan dan pengembangan bakat siswa.
c) Melakukan
kunjungan rumah (home visit).
d) Menyelenggarakan
kelompok belajar, yang bermanfaat untuk:
1) Membiasakan
anak untuk bergaul dengan teman-temannya, bagaimana mengemukakan pendapatnya
dan menerima pendapat dari teman lain.
2) Merealisasikan
tujuan pendidikan dan pengajaran melalui belajar secara bersama”.
3) Mengatasi
kesulitan-kesulitan, terutama dalam hal pelajaran secara bersama-sama.
4) Belajar
hidup bersama agar nantinya tidak canggung di dalam masyarakat yang lebih luas.
5) Memupuk
rasa kegotongroyongan.
C. Kerjasama
Guru dengan Konselor dalam Layanan Bimbingan
Dalam
kegiatan belajar-mengajar sangat diperlukan adanya kerjasama antara guru dengan
konselor demi tercapainya tujuan yang di harapkan. Dalam hal ini Rochman
Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) mengutip pendapat Miller yang mengatakan
bahwa:
a) Proses
belajar menjadi sangat efektif, apabila bahan yang dipelajari dikaitkan
langsung dengan tujuan-tujuan pribadi siswa.
b) Guru
yang memahami siswa dan masalah-masalah yang dihadapinya, lebih peka terhadap
hal-hal yang dapat memperlancar dan mengganggu kelancaran kegiatan kelas.
c) Guru
dapat memperhatikan perkembangan masalah atau kesulitan siswa secara lebih
nyata.
Berdasarkan
pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan disekolah akan
lebih efektif bila guru dapat bekerja sama dengan konselor sekolah dalam proses
pembelajaran. Adanya
keterbatasan-keterbatasan dari kedua belah pihak (guru dan konselor) menuntut
adanya kerjasama tersebut.
Konselor
mempunyai keterbatasan dalam hal yang berkaitan dengan (1) kurangnya waktu
untuk bertatap muka dengan siswa, hal ini karena tenaga konselor masih sangat
terbatas, sehingga pelayanan siswa dalam jumlah yang cukup banyak tidak bias
dilakukan secara intensif; (2) keterbatasan konselor sehingga tidak mungkin
dapat memberlikan pengajaran perbaikan untuk bidang studi tertentu, dan
sebagainya.
Di
lain pihak guru juga mempunyai beberapa keterbatasan. Menurut Lestoer
Partowisastro (1982) keterbatasan-keterbatasan guru tersebut antara lain:
a) Guru
tidak mungkin lagi menangani masalh-masalah siswa yang bermacam-macam, karena
guru tidak terlatih untuk melaksanakan semua tugas itu.
b) Guru
sendiri sudah berat tugas mengajarnya, sehingga tidak mungkin lagi ditambah
tugas yang lebih banyak untuk memecahkan berbagai macam masalah siswa.
Di
dalam menangani kasus tertentu konselor perlu menghadirkan guru atau
pihak-pihak terkait guna membicarakan pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Kegiatan
semacam ini disebut dengan konferensi kasus (case conference). Bila guru
menemui masalah yang sudah berada di luar batas kewenangannya, guru dapat
mengalihtangankan masalah siswa tersebut kepada konselor.
Kegiatan-kegiatan
bimbngan dan konseling yang di laksanakan di sekolah, dikoordinasikan oleh
konselor, dengan demikian pelaksanaan kegiatan bimbingan oleh para guru tidak
lepas begitu saja, tetapi dipantau oleh konselor.